Publikasi
Opini

Evaluasi Keamanan Informasi pada Platform Sidang Online: Pekerjaan Rumah Mahkamah Agung
Sejak pandemi Covid-19, perubahan besar dalam pergeseran pelayanan digital kepada masyarakat telah banyak dilakukan oleh setiap instansi pemerintahan, tidak terkecuali pelayanan di lembaga Yudikatif Republik ini. Jauh sebelum pandemi, tepatnya sejak bulan Oktober tahun 2010, melalui Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membuat langkah progresif lebih awal dengan perencanaan dan pengelolaan peradilan berbasis teknologi informasi secara terpadu. Hal ini berdasarkan cita mulia Mahkamah Agung Republik Indonesia yang ingin menjadikan instansinya sebagai motor utama percontohan digitalisasi pelayanan, dengan mengedepankan pengelolaan Peradilan berbasis teknologi informasi secara terpadu (Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010- 2035, 2010).
Pada dasarnya, peradilan berbasis teknologi informasi ini dimaksudkan untuk memandu perubahan dinamika sosial masyarakat yang terjadi secara radikal, baik secara langsung ataupun tidak langsung, proses kerja peradilan pun harus mengikutinya berdasarkan payung hukum progresif yang sudah dipersiapkan. Atas pijakan itulah salah satu pilar penting implementasi misi Mahkamah Agung Republik Indonesia berupa memberikan pelayanan hukum yang dapat dijangkau oleh seluruh pencari keadilan di Indonesia dapat diwujudkan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan Mahkamah Agung Republik Indonesia mulai dari penerbitan dasar hukum untuk mengimplementasikan digitalisasi peradilan, hingga responsifitas lembaga terhadap percepatan teknologi informasi, yang diantaranya dilakukan sebagaimana langkah berikut ini berikut ini: 1) Diterbitkannya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan yang dijadikan dasar Mahkamah Agung Republik Indonesia membangun Aplikasi penunjang berupa Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) melalui payung hukum terbarunya yakni Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 71/KMA/SK/IV/2019; 2)Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik juga turut mendukung proses hibridisasi peradilan berbasis Teknologi Informasi, dimana Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik yang selanjutnya menjadi dasar hukum pengimplementasian e-court; 3) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik sebagai dasar adanya program e-litigasi di persidangan perdata; 4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana secara elektronik; 5) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. 6) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik.
Selain payung hukum implementasi teknis digitalisasi peradilan, Mahkamah Agung Republik Indonesia juga telah melakukan beberapa peningkatan fungsi pada sistem pendukungnya yakni sistem direktori Putusan (saat ini versi 3), standarisasi website, tanda tangan elektronik pada salinan putusan melalui aplikasi e-court, Pengembangan Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) Mahkamah Agung, maupun berbagai program berbasis teknologi informasi lainnya yang Mahkamah Agung Republik Indonesia lakukan untuk mengupayakan kemudahan akses bagi para pencari keadilan.
Namun, sejumlah kendala masih mengiringi proses digitalisasi peradilan di Indonesia. Tantangan tersebut yakni terkait dengan kesiapan infrastruktur, regulasi, dan kompetensi sumber daya manusia di lingkungan peradilan. (Andi Saputra, 2020). Selain itu, sebagaimana hasil wawancara penulis dengan Liza Farihah, Direktur Eksekutif LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan) tanggal 27 Januari 2022 , juga memaparkan data bahwa modernisasi peradilan saat ini masih dibayangi permasalahan, mulai dari : Pertama, tidak meratanya akses internet di seluruh wilayah hukum badan peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, karena kendala geografis; Kedua, Masih kurangnya regulasi yang membahas hukum acara pada persidangan secara elektronik; Ketiga Keamanan data dalam persidangan secara elektronik masih harus dimutakhirkan sesuai kebutuhan persidangan.
Selain daripada hal tersebut, penulis juga menemukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan permasalahan ketiga yang dipaparkan Liza Farihah, direktur eksekutif LeIP, yakni terkait dengan keamanan data, dimana Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Badan Penelitian dan Pengembangan SDM Puslitbang Aptika dan IKP, sempat membahas strategi implementasi regulasi perlindungan data pribadi di indonesia, namun dalam penelitiannya, terbatas pada pembahasan secara umum mengenai keamanan data pribadi untuk media sosial seperti twitter, instagram, dan facebook . Dengan kata lain, belum ada pembahasan mengenai media yang lazim digunakan dalam persidangan di dunia peradilan.
Padahal sejak pandemi hingga saat ini, persidangan di peradilan Indonesia, sudah menggunakan media online untuk sidang, seperti Zoom Meeting, Google Meet, dan platform lain sejenisnya, yang setiap penggunaannya, dilakukan dengan perekaman dan pendokumentasian. Sering kali juga hasil rekam tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam bundel arsip perkara. Selain itu, sebagaimana surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1-144/KMA/I/2011, tentang pedoman pelayanan informasi di Pengadilan, hasil rekam persidangan tersebut, seharusnya dapat dikategorisasikan sebagai bagian informasi yang wajib dikelola pengadilan dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, baik itu sebagai informasi yang wajib tersedia yang setiap saat dapat diakses oleh publik ataupun informasi yang dikecualikan / dirahasiakan.
Namun sampai saat ini belum pernah ada pengaturan lebih lanjut mengenai media perekaman persidangan. Padahal, saat ini sangat marak peretasan akun yang memungkinkan bocornya data rahasia, tidak terkecuali pada aplikasi Zoom Meeting. Hal tersebut sesuai dengan data pada CNBC Indonesia yang menyebutkan sekitar 530 ribu password dan detail aplikasi zoom telah diperjualbelikan di Dark Web (Andi Roy, 2022). Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi perlindungan data peradilan, yang hingga hari ini masih menjadikan platform video online tersebut untuk proses persidangan tanpa adanya server yang langsung dikelola di Mahkamah Agung Republik Indonesia. oleh karenanya, butuh pembaharuan yang mengatur perihal permasalahan tersebut.
Upaya modernisasi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berbasiskan teknologi Informasi, seharusnya tidak mungkin dilakukan secara parsial atau sebagian saja . Akan tetapi modernisasi peradilan harus dilaksanakan secara serentak, bersama-sama dan berdasarkan pada suatu strategi yang sistemik, holistis maupun integral. Berdasarkan hal tersebut, penulis menilai perlunya konsepsi solusi yang dapat mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya dapat memutahirkan Sistem Terpadu Keamanan Data Peradilan, dimana Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat melakukan langkah-langkah berikut : 1) Memperbaharui Payung Hukum Keamanan Data Peradilan terpadu di Internal Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Saat ini Mahkamah Agung Republik Indonesia belum memiliki pengaturan internal secara khusus mengenai pengelolaan keamanan data peradilan dan hanya mendasarkan pada ketentuan umum berupa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), maupun Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) terkait publikasi informasi publik. Sehingga langkah pembaharuan pembentukan regulasi interal Mahkamah Agung Republik Indonesia ini dinilai menjadi pijakan awal penting yang harus dilakukan. Dimana regulasi internal tersebut juga harus mengatur mengenai penggunaan aplikasi resmi untuk persidangan online hingga bagaimana pedoman pengarsipan dokumentasi elektronik itu dalam bundel berkas perkara; 2) Menjalin kerjasama dengan perusahaan penyedia platform aplikasi video conference yang digunakan untuk persidangan. Kerjasama tersebut dilakukan untuk 1. memastikan perlindungan data peradilan yang menggunakan aplikasi milik orang luar; 2. Memastikan prosedur pengelolaan data yang tepat terhadap aplikasi video conference untuk digunakan di persidangan; 3. Apabila tidak dapat mengelola server secara langsung terhadap penggunan aplikasi video conference di persidangan milik pihak lain, maka harus diatur juga pengelolaan server untuk back up dan penyimpanan data didalam poin kerjasamanya; 3) Penguatan kewenangan Tim Informasi Teknologi Mahkamah Agung RI untuk penanganan keamanan data peradilan. Apabila sudah dikukuhkan kerjasamanya, maka harus ada pihak yang benar-benar memahami, memiliki kewenangan dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan keamanan data peradilan. Sehingga Mahkamah Agung Republik Indonesia harus menunjuk juga penanggung jawab khusus di Tim Informasi Teknologi yang menangani keamanan data peradilan baik di Pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi, lalu mengatur juga inovasi dan pembaharuan mengenai keamanan data peradilan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, perwujudan konsep Sistem Terpadu Keamanan Data Peradilan sangatlah penting untuk dilakukan di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan haluan Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mencitakan digitalisasi peradilan yang komperhensif.