Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Ketika Lingkungan Bersuara: Kisah Perjuangan Hak Gugat (Legal Standing) di Indonesia

Ketika Lingkungan Bersuara: Kisah Perjuangan Hak Gugat (Legal Standing) di Indonesia

Dipublikasikan oleh Komang Ardika pada 29 Juni 2025

Sejarah hak gugat organisasi lingkungan hidup (OLH) di Indonesia adalah sebuah epos tentang keberanian dan adaptasi hukum. Ini bukan sekadar catatan kronologis, tapi sebuah kisah perjuangan yang patut kita pahami, tentang bagaimana kesadaran publik mampu membentuk lanskap hukum, bahkan saat payung undang-undang masih sangat tipis.

Dulu, sebelum tahun 1997, pintu pengadilan bagi organisasi lingkungan hidup praktis tertutup rapat. Hukum acara perdata kita menganut prinsip kaku: "tiada kepentingan, tiada gugatan" atau dalam bahasa Latinnya 'point d'intérêt, point d'action.' Artinya, hanya mereka yang secara langsung merugi bisa menggugat. Bayangkan, bagaimana mungkin sebatang pohon yang tercemar atau sungai yang mati bisa bersuara di pengadilan? Organisasi lingkungan yang peduli, namun tak punya kerugian pribadi, tak bisa berbuat banyak.

Namun, di sinilah keberanian hakim dalam melakukan judicial activism memainkan perannya. Momen bersejarah itu terjadi pada kasus Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai Penggugat melawan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan PT Inti Indo Rayon Utama dalam perkara Nomor 820/PDT.G/1988/PN.JKT.PST (LeIP dan ICEL, 2022, Ringkasan Putusan Terpilih Perkara Lingkungan Hidup, Jakarta, 33-38).

Meskipun gugatan WALHI akhirnya ditolak, ada satu hal yang mengubah segalanya: Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengambil langkah berani dengan mengakui legal standing WALHI. Ini adalah terobosan hukum yang luar biasa, semacam deklarasi bahwa "lingkungan punya penjaga, dan penjaga itu boleh berbicara di pengadilan!" Keputusan ini membuktikan bahwa hakim mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat, melampaui batasan teks undang-undang yang ada.

Dari Pengakuan Hakim ke Undang-Undang yang Mengikat

Pengakuan berani dari pengadilan itu tidak berhenti di sana. Ia menjadi fondasi kokoh yang menginspirasi Para Pembuat Undang-Undang. Lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang secara eksplisit memasukkan hak gugat bagi organisasi lingkungan hidup pada Pasal 38. Ayat (1) pasal ini secara gamblang menyatakan bahwa OLH berhak mengajukan gugatan demi kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun, perlu dicatat, hak gugat ini terbatas pada tuntutan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi materiil, kecuali biaya atau pengeluaran riil (Ayat 2). Syarat-syaratnya pun jelas: organisasi harus berbadan hukum, tujuan pelestarian lingkungan harus tercantum dalam anggaran dasar, dan telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai anggaran dasar (Ayat 3).

Tonggak ini semakin diperkuat dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pasal 92 UUPPLH mengatur secara lebih rinci syarat-syarat bagi OLH untuk mengajukan gugatan, termasuk keharusan telah melaksanakan kegiatan nyata minimal 2 (dua) tahun.

Mahkamah Agung Perjelas Aturan Main: PERMA 1/2023

Perkembangan tak berhenti di sana. Mahkamah Agung (MA) menunjukkan komitmennya dengan menetapkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup pada 12 Juni 2023 (PERMA 1/2023). PERMA ini, adalah terobosan signifikan yang berfungsi sebagai kompas baru bagi para hakim. Kehadirannya melengkapi baik hukum materiil maupun hukum formil yang selama ini masih memiliki celah dalam praktik peradilan lingkungan.

Yang terpenting, PERMA ini secara spesifik mengatur gugatan organisasi lingkungan hidup. Pasal 1 Angka 7 PERMA 1/2023 mendefinisikan gugatan ini sebagai "suatu tata cara pengajuan gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diajukan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup." PERMA ini juga menegaskan bahwa gugatan OLH dapat diajukan dalam perkara tata usaha negara lingkungan hidup (Pasal 9) atau perkara perdata lingkungan hidup (Pasal 34). Persyaratan bagi OLH pun dipertegas, meliputi: a) berbentuk badan hukum atau organisasi yang disahkan oleh pejabat berwenang; b) anggaran dasar menegaskan tujuan pelestarian fungsi lingkungan hidup; c) telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai anggaran dasar minimal 2 (dua) tahun, dibuktikan dengan laporan dan dokumentasi relevan; dan d) tuntutan hanya terbatas pada tindakan tertentu, tanpa ganti rugi, kecuali biaya riil seperti biaya laboratorium dan biaya perkara.

Hingga saat ini, hak gugat ini telah menjadi senjata ampuh bagi organisasi lingkungan hidup. Mereka aktif dalam berbagai kasus, mulai dari melawan deforestasi, pencemaran industri, hingga menuntut perbaikan kualitas udara. Mereka adalah pemantik akuntabilitas bagi pemerintah dan korporasi, memastikan bahwa janji-janji perlindungan lingkungan tak sekadar retorika.

Pada akhirnya, sejarah hak gugat OLH di Indonesia adalah bukti nyata bahwa hukum itu hidup dan terus bergerak. Ia bukan sekadar kumpulan pasal beku, melainkan alat dinamis yang bisa beradaptasi demi kebaikan bersama. Perjalanan ini mengingatkan kita bahwa kekuatan masyarakat sipil, didukung oleh sistem hukum yang progresif, adalah kunci untuk mewujudkan masa depan lingkungan yang lebih lestari.

Bagikan