Publikasi
Opini

Menjaga Keagungan Hakim Melalui Nada Bicara
Menjadi hakim bukan hanya profesi, ini adalah panggilan jiwa, amanah yang sangat berat. Sebagai pemegang wewenang dalam memberikan keadilan, tugas kita adalah memastikan bahwa hukum tidak hanya ditegakkan, tetapi juga dijalankan dengan hati nurani. Dalam setiap keputusan yang kita ambil, ada kehidupan yang ditentukan, ada masa depan yang dibentuk, ada harga diri yang dipertaruhkan
Menjadi hakim berarti memikul tugas suci. Bukan hanya untuk memutuskan perkara, tetapi juga untuk menjaga martabat hukum dan memberi contoh yang baik. Sebagai hakim, kita adalah pengayom, bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga di luar sidang. Dalam interaksi sehari-hari, baik kepada sesama hakim, pegawai, pimpinan, para pihak berperkara, atau masyarakat, kita dituntut untuk menjaga sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai luhur profesi ini.
Namun, seringkali kita tidak sadar bahwa dalam perjalanan waktu, dengan kedudukan yang semakin tinggi dan kenyamanan yang semakin mudah, kita mulai mengubah cara kita berbicara dan berperilaku. Pada awalnya, kita berbicara dengan penuh empati, rendah hati, dan menghormati setiap individu. Tapi seiring waktu, terkadang tanpa sadar, nada bicara kita mulai berubah, menjadi lebih keras, lebih tajam, bahkan kadang-kadang merendahkan orang lain. Kita lupa bahwa, sebagai hakim, kita bukanlah orang yang lebih tinggi daripada yang lain. Sebaliknya, kita adalah orang yang diberi amanah untuk mengayomi semua pihak.
Perubahan yang terlihat kecil, namun sebenarnya sangat signifikan, tapi seiring waktu terjadi dalam interaksi kita dengan orang-orang di sekitar kita. Nada bicara kepada pegawai yang dulunya hangat dan penuh perhatian, mulai berubah menjadi dingin dan penuh jarak. Sebagai hakim, kita mungkin merasa posisi kita semakin tinggi, namun itu tidak seharusnya membuat kita menjauhkan diri dari mereka yang ada di sekitar kita. Pegawai, yang seharusnya menjadi mitra dalam menjalankan tugas peradilan, sering kali diperlakukan dengan cara yang semakin kaku, bahkan terkesan tidak dihargai.
Begitu juga dengan sesama hakim. Dulu, kita berbicara dengan semangat kebersamaan, penuh rasa saling menghormati dan egaliter. Namun, belakangan ini, nada bicara kita mulai terdengar menyindir, bahkan merendahkan. Kita lupa bahwa kita semua ada di posisi yang sama, membawa amanah yang sama, dan harus saling mendukung untuk menjaga marwah lembaga peradilan. Hubungan yang dulunya hangat dan penuh kerjasama, kini bisa berubah menjadi penuh jarak dan bahkan kompetisi yang tidak sehat.
Dalam berbicara kepada atasan, kita perlu tetap menjaga kesopanan dan rasa hormat, namun tanpa terjebak dalam sikap mencari muka. Nada bicara yang terlalu berlebihan dalam memuji, atau ucapan yang lebih bertujuan mencari keuntungan pribadi daripada menyampaikan kebenaran, justru menggerus martabat kita sebagai hakim.
Sikap yang terhormat tercermin dari ketulusan, berbicara dengan jujur, sopan, tetapi tetap berpegang pada prinsip. Kita harus ingat, kehormatan seorang hakim bukan diukur dari seberapa pandai ia mengambil hati atasan, melainkan dari seberapa konsisten ia menjaga integritas dalam setiap kata dan tindakannya. Menjaga nada bicara yang bersih dari kepura-puraan adalah bagian dari menjaga keagungan profesi ini.
Kepada para pencari keadilan, bahkan kepada terdakwa, kita mulai berbicara dengan cara yang seolah-olah mereka tak punya harga diri. Kita tidak lagi melihat mereka sebagai manusia yang datang dengan harapan untuk mendapatkan keadilan, tetapi lebih sebagai objek yang harus dihakimi. Kita lupa bahwa mereka datang bukan untuk dihakimi dengan suara dan nada yang menghina, tetapi untuk dicari keadilan lewat hukum. Seorang hakim seharusnya mampu memanusiakan manusia, tidak hanya dalam keputusan yang diambil, tetapi juga dalam cara kita berinteraksi dengan mereka.
Memanusiakan manusia berarti menghargai martabat setiap individu, tidak peduli apa posisi sosial atau status mereka. Sebagai hakim, kita harus ingat bahwa kita tidak hanya mengadili perkara, tetapi juga menghormati hak setiap orang untuk diperlakukan dengan adil dan bermartabat. Kita harus bisa berbicara dengan penuh empati dan rasa hormat kepada siapa pun yang berhadapan dengan kita, baik itu seorang terdakwa, saksi, atau bahkan rekan sejawat.
Sebagian besar dari kita hidup jauh dari kampung halaman. Menjadi hakim adalah hidup dalam perantauan yang panjang. Kita datang ke daerah-daerah yang kadang belum pernah kita kenal sebelumnya, tinggal di lingkungan baru, jauh dari keluarga, sahabat, dan dukungan emosional yang selama ini menjadi sandaran. Dalam kondisi seperti itu, perasaan sepi, canggung, dan kadang hampa tak jarang muncul dalam keseharian. Namun, meski berada dalam kesendirian itu, kita tetap dituntut hadir sebagai sosok yang disegani yang adil, tegas, namun juga bijak dan dapat dipercaya.
Dalam ruang sosial yang baru dan belum tentu akrab dengan kita, jika kita tidak mampu menjaga emosi, menjaga laku bicara, dan mengendalikan rasa superioritas, maka arogansi bisa tumbuh tanpa sadar. Dan arogansi dalam perantauan sangat berisiko bukan hanya mencederai hubungan sosial dengan siapa pun di sekitar kita, tapi juga bisa membahayakan keselamatan dan martabat kita sendiri. Dalam lingkungan yang belum tentu mengenal atau memahami siapa kita, nada bicara yang tinggi, sikap yang meremehkan, atau tutur kata yang menusuk bisa menimbulkan kebencian tersembunyi.
Padahal, kita tidak hidup dengan perlindungan formal. Kita tidak dikawal, bahkan tidak dipersenjatai. Seorang hakim menjalani tugasnya dalam keadaan telanjang secara perlindungan tidak seperti aparat penegak hukum lainnya. Benteng kita hanyalah integritas, ketulusan, dan kehormatan. Dan semua itu, tak hanya dinilai dari isi putusan atau seberapa hebat kita menafsirkan hukum, tetapi dari sikap kita sehari-hari. Cara kita menyapa tetangga, cara kita menanggapi tukang kebun atau pedagang kecil, hingga cara kita berdialog dengan sesama pegawai, rekan sejawat, pimpinan, pencari keadilan, dan bahkan terdakwa. Semua itu membentuk pagar tak kasatmata yang menjaga harkat kita.
Jika nada bicara kita menyakiti, jika tutur kata kita menusuk harga diri orang lain, maka sebenarnya kita sedang merobek-robek pagar itu sendiri. Justru karena kita hidup sendiri dalam perantauan, kita harus membangun jembatan-jembatan sosial yang tulus, menjalin simpati, dan menanam respek kepada siapa pun yang berinteraksi dengan kita baik yang terlihat besar maupun yang dianggap kecil oleh dunia. Karena kehormatan seorang hakim tidak hanya ditentukan oleh siapa yang ia hadapi di meja sidang, tetapi juga oleh bagaimana ia memperlakukan siapa saja yang hadir dalam hidupnya sehari-hari.
Disinilah peran Kode Etik Hakim sangat penting. Kode Etik ini bukan hanya sekadar aturan yang mengikat kita, tetapi sebuah pedoman moral yang harus menjadi bagian dari setiap keputusan, setiap ucapan, dan setiap tindakan kita. Kode Etik Hakim mengatur bagaimana kita harus berperilaku, baik dalam sikap profesional maupun dalam interaksi sehari-hari. Salah satu prinsip utamanya adalah menjaga integritas dan menjunjung tinggi rasa hormat kepada sesama.
Kode Etik Hakim menekankan bahwa kita harus menjaga perilaku kita agar selalu mencerminkan sikap yang adil, tidak berpihak, dan penuh rasa hormat terhadap hak dan martabat setiap individu, termasuk kepada mereka yang mungkin berada dalam posisi yang lebih rendah atau sedang menghadapi masalah hukum. Sebagai hakim, kita juga harus menjaga kemandirian dan integritas, serta menghindari perilaku yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Bagi seorang hakim, integritas bukan hanya tercermin dalam keputusan-keputusan besar, tetapi juga dalam hal-hal kecil yang seringkali tidak terlihat seperti bagaimana kita berbicara kepada pegawai, kepada rekan sejawat, kepada pimpinan atau pun kepada pihak pencari keadilan. Nada bicara kita mencerminkan siapa kita sebenarnya. Jika kita berbicara dengan nada merendahkan, sombong, atau kasar, itu bukan hanya melanggar etika, tapi juga mencoreng martabat kita sebagai pemegang amanah hukum.
Jangan ubah nada bicaramu, sekalipun hidupmu telah berada di level yang lebih tinggi. Tuhan memberi kedudukan dan kelayakan hidup bukan untuk menjadikan kita lebih tinggi dari orang lain, tetapi untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Dalam setiap interaksi, baik dengan pegawai, rekan sejawat,pimpinan, para pencari keadilan dan masyarakat setempat, kita harus tetap rendah hati dan menghormati setiap individu, tidak peduli status atau kedudukan mereka.
Ingatlah, ada perumpamaan yang sangat tepat untuk menggambarkan situasi ini “jangan karena batu kerikil di jalan, kita sampai jatuh dan kehilangan arah”. Dalam perjalanan hidup dan karier kita yang seharusnya kokoh, seringkali kita terjatuh hanya karena perkara kecil yang tidak kita perhatikan, seperti kata-kata yang salah, sikap yang meremehkan, atau kesombongan yang tampak sepele. Batu kerikil itu meskipun kecil bisa menyebabkan kita tergelincir, bahkan menghancurkan seluruh perjalanan panjang yang telah kita tempuh.
Jika kita terus menerus mengabaikan etika ini, dan berbicara dengan cara yang tidak pantas, cepat atau lambat, kejatuhan itu akan datang. Reputasi kita, yang sudah dibangun bertahun-tahun, bisa hancur hanya dengan satu kalimat yang salah, satu sikap yang merendahkan orang lain. Dan ketika reputasi kita jatuh, keluarga kita yang tidak bersalah akan menjadi pihak yang ikut menanggung akibatnya. Kehormatan mereka akan tercoreng, dan mereka yang dulu bangga akan merasa malu. Jangan biarkan mereka menanggung akibat dari kebanggaan yang hilang karena kesombongan kita.
Ini adalah pengingat bagi kita semua. Mari kita saling mengingatkan untuk terus membumi, untuk menjaga profesionalisme dan kehormatan kita sebagai hakim. Jangan sampai terlambat untuk berubah, untuk kembali pada nilai-nilai dasar yang telah membawa kita ke posisi ini. Karena pada akhirnya, keadilan bukan hanya tentang putusan hukum yang kita buat, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan sesama dengan penuh rasa hormat dan rendah hati.
Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk kembali pada jalan yang benar. Mari kita jaga amanah ini dengan sebaik-baiknya, dan jangan biarkan perubahan yang tampaknya kecil, seperti nada bicara atau perilaku, menghancurkan kepercayaan yang telah kita bangun. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk tetap meniti jalan kehormatan ini, dengan lisan yang terjaga, hati yang bersih, dan tekad yang tulus untuk terus mengabdi pada keadilan.