Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

SAQ Jalan Baru Bagi Generasi Pembaru

SAQ Jalan Baru Bagi Generasi Pembaru

Dipublikasikan oleh Iqbal Lazuardi pada 19 Mei 2025

Perubahan sejati dalam sebuah sistem besar sering kali dimulai dari pergeseran paradigma. Dalam dunia peradilan, kita tengah menyaksikan tanda-tanda pergeseran itu. Salah satunya adalah diperkenalkannya Self Assessment Questionnaire (SAQ) oleh Badan Peradilan Umum sebagai alat penilaian dalam proses promosi dan mutasi hakim. SAQ tidak sekadar formulir, melainkan simbol upaya menuju manajemen SDM yang lebih manusiawi, profesional, dan transparan.

Jika sistem lama sangat bergantung pada peringkat PPC (Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim) yang sering kali membekukan potensi hanya pada hasil masa lalu maka SAQ berusaha menangkap potret nyata seorang hakim hari ini yakni kinerjanya, pengembangan dirinya, prestasi riil di lapangan, hingga kondisi personalnya yang bisa memengaruhi penempatan.

SAQ ibarat cermin yang memantulkan bayangan siapa kita sebagai hakim hari ini. Bagi para hakim muda, khususnya angkatan VIII yang selama ini sering hanya menjadi penerima kebijakan, SAQ memberi ruang untuk menunjukkan diri secara lebih utuh. Bukan sekadar angka ranking, tapi juga kinerja nyata, semangat belajar, dan kontribusi yang telah diberikan.

SAQ dan Energi Reformasi SDM Peradilan

SAQ merupakan jembatan menuju reformasi manajemen SDM peradilan. Dengan mengisi SAQ, kita sedang menyampaikan pesan penting bahwa kinerja nyata tak kalah bermakna dibandingkan sekadar prestasi akademik. Hakim yang secara konsisten menyelesaikan perkara dengan pendekatan restorative justice, mendamaikan perkara anak melalui diversi, menyelesaikan gugatan sederhana dengan jalan damai, atau menjadi mediator hakim yang berhasil mencapai kesepakatan perdamaian para pihak dalam perkara perdata semua itu patut dituliskan dengan jelas. Keberhasilan-keberhasilan ini bukan hanya mencerminkan pemahaman terhadap hukum, tetapi juga menunjukkan empati, keterampilan komunikasi, dan komitmen untuk menghadirkan keadilan yang lebih bermakna bagi masyarakat.

Demikian pula para hakim yang aktif membangun Zona Integritas menuju WBK/WBBM, mendukung program AMPUH Badilum, terlibat dalam Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP), menjalankan tugas sebagai pengawas bidang, bertanggung jawab di bidang kehumasan, menulis buku atau artikel hukum, menjadi narasumber dalam seminar atau forum ilmiah, hingga berkontribusi dalam peningkatan pelayanan publik di satuan kerjanya, semua bentuk pengabdian ini kini memiliki ruang untuk ditulis dan diakui secara layak dalam SAQ.

SAQ Belum Sempurna, Tapi Arah Sudah Berubah

Kita harus jujur mengakui bahwa SAQ bukanlah sistem yang sempurna. Masih ada ruang subjektivitas dalam penilaian, dan tidak semua indikator dapat sepenuhnya diukur secara objektif. Namun, di balik keterbatasan itu, SAQ membawa harapan baru. Setidaknya, Mahkamah Agung telah mulai menggeser titik fokus penilaian promosi-mutasi dari sekadar mengandalkan angka masa lalu menuju evaluasi atas kinerja aktual hari ini. Dari sistem ranking menuju konteks kontribusi dan kerja nyata.

SAQ tentu memiliki tantangannya sendiri. Karena berbasis penilaian mandiri (self-assessed), peluang subjektivitas tetap ada. Namun justru di sinilah letak tantangannya membangun budaya profesionalisme yang dewasa, yakni keberanian untuk menilai diri sendiri dengan jujur, bertanggung jawab, dan terbuka terhadap verifikasi. Kekuatan SAQ terletak pada keseimbangan antara penilaian pribadi dan validasi dari atasan serta tim penilai.

Kita harus memaknai ini sebagai momentum penting. Momentum untuk menunjukkan bahwa para hakim muda tidak hanya mampu mengabdi, tetapi juga layak diberi ruang tumbuh berdasarkan sistem merit bukan sekadar mewarisi ranking lama.

SAQ memberikan panggung bagi mereka yang selama ini bekerja dalam diam. Bagi hakim-hakim yang mungkin bukan bintang di panggung PPC, tetapi bersinar di tempat tugasnya melalui dedikasi, integritas, dan kinerja nyata. Ini adalah langkah maju menuju sistem yang lebih adil, manusiawi, dan mencerminkan semangat reformasi peradilan yang sesungguhnya.

Menyambut SAQ dengan Semangat Reformasi

SAQ bukan beban, tapi kesempatan. Inilah saatnya para hakim muda menuliskan kisahnya dengan jujur, namun tanpa merendahkan diri. Ungkapkan peran riil, inisiatif, dan capaian. Bukan untuk pamer, tetapi untuk memberi Mahkamah Agung potret yang utuh, bahwa hakim muda hari ini adalah generasi pembaru, bukan pelengkap statistik.

Di tengah semangat para hakim muda untuk membawa perubahan di tubuh peradilan, SAQ bisa menjadi ladang awal tempat benih integritas dan profesionalisme ditanam. Dengan menjawab secara jujur, mencatat secara reflektif, dan mengisi dengan kesadaran bahwa tugas ini adalah bentuk pengabdian, kita tengah memulai langkah kecil menuju perubahan besar.

Berdamailah dengan Hasil

Setelah seluruh proses kita lalui mengisi SAQ dengan jujur, mencatat perjalanan kinerja dengan reflektif, dan menyusunnya dengan kesadaran penuh tibalah saatnya kita menundukkan ego dan membuka ruang untuk berdamai dengan hasil.

Berdamai bukan berarti menyerah, melainkan menerima bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa kita kendalikan. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin dalam ranah yang menjadi tanggung jawab kita. Setelah itu, biarlah sistem bekerja sebagaimana mestinya, dan biarlah waktu yang menguji ketulusan ikhtiar kita.

Tak jarang, hasil penempatan tak seindah harapan. Bisa jadi, kita tidak mendapatkan lokasi atau posisi yang selama ini kita impikan. Tapi itu bukan alasan untuk berkecil hati, apalagi memadamkan semangat pengabdian. Karena ukuran sejati dari profesionalitas seorang hakim bukanlah terletak pada di mana ia ditempatkan, melainkan pada bagaimana ia bekerja secara utuh, menjaga integritas, dan tetap berkontribusi optimal di tempat yang dipercayakan kepadanya.

Penempatan, promosi, mutasi semuanya penting, tapi bukan itu inti dari panggilan profesi kita. Seorang hakim tidak dinilai dari seberapa cepat ia sampai di kota besar atau di jabatan tinggi, melainkan dari sejauh mana ia mampu menjaga nyala integritas di tempat yang kadang jauh dari sorotan.

Seringkali kita ditempatkan di wilayah yang tak pernah kita bayangkan yakni jauh dari pusat kekuasaan, terpencil dari hiruk-pikuk kota besar, dan bahkan jauh dari domisili asal. Namun justru di tempat seperti itulah, makna menjadi hakim benar-benar diuji. Apakah kita masih bisa menegakkan keadilan dengan suara yang bening, ketika tidak ada yang menonton? Apakah kita masih mampu menjaga nurani ketika hanya suara hati yang menjadi teman?

Sejatinya, tugas kita bukan untuk berada di tempat terbaik, tapi menjadi yang terbaik di tempat kita berada. Di kabupaten kecil, di perbatasan, di pulau terluar selama hakim itu hadir dengan hati, maka negara hukum pun ikut hadir di sana.

Maka, berdamailah dengan hasil. Karena hasil bukan akhir, melainkan bagian dari perjalanan. Tugas kita bukan sekadar menempuh lintasan karier, tapi menanam jejak pengabdian. Dan setiap langkah yang dijalani dengan tulus meski tanpa panggung atau pujian pasti meninggalkan arti.

Mari terus menyalakan semangat pengabdian ini. Tetaplah menjadi hakim yang bekerja dengan hati, menjaga integritas tanpa pamrih, dan menghadirkan keadilan di mana pun kita ditugaskan. Karena pada akhirnya, seorang hakim sejati adalah cahaya negara hukum. Ia tidak memilih di mana harus bersinar, tapi ia tetap menyala, bahkan di tempat tergelap sekalipun.

Bagikan